Arogansi Kekuasaan


Arogansi adalah bahasa kerennya dari "kesombongan" dan ternyata yang namanya "arogansi" itu tidak hanya di lingkungan pemerintahan, di tingkat sebuah yayasan pendidikan pun telah terjadi sebuah arogansi kekuasaan dari raja-raja kecil (baca: kepala sekolah) dalam yayasan itu.


Alkisah di negeri antah berantah, di sebuah kompleks persekolahan yang berada dalam naungan sebuah yayasan yang sudah terkenal, terdapat beberapa sekolah mulai dari tingkat TK sampai dengan tingkat SMA/ SMK. Dalam yayasan itu terdapat seorang Kepala Dinas (Kadis) yang seyogianya menjadi pimpinan dari para kepala sekolah yang ada di kompleks itu. Tapi apa yang terjadi? Sang Kadis yang tidak mempunyai uang dan tidak mempunyai "rakyat" memang serba salah. At least, para kepala sekolah (yang merasa lebih berkuasa) membuat sebuah perkumpulan sendiri diantara mereka, kemudian membuat peraturan, dll, untuk kompleks mereka yang sepertinya (mungkin juga kadang-kadang) tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan sang Kadis. Padahal sejatinya, sang Kadis yang seharusnya membuat peraturan untuk dilaksanakan oleh para kepala sekolah, guru, murid, dan sipapapun yang berhubungan dengan pendidikan yang ada di kompleks itu.


Masalah satu rumah dengan beberapa keluarga memang kerap terjadi. Sama halnya dengan kompleks sekolah itu. Ruangan-ruangan kelas, yang katanya "milik bersama", dengan mudah dipindahtangankan, atas nama "kebersamaan". Yang paling menghebohkan adalah ketika di depan kompleks sekolah itu dipasang tulisan "SMK Yayasan" dengan huruf besar dan mencolok, sehingga seolah-olah kompleks itu hanya terdapat SMK tersebut. Padahal kan ada TK, SD, SMP, MTs, dll. Maklum, karena menganggap SMK sedang dinomorsatukan oleh pemerintah dan merasa paling kaya diantara sekolah-sekolah yang ada di kompleks itu, mereka merasa bebas berbuat semaunya. Semua orang di kompleks itu sangat marah, bahkan beberapa guru SMK pun merasa malu dan canggung disebabkan oleh proyek seseorang itu. Beberapa orang menganggap tindakan itu "semena-mena". Sang Kadis diam saja, tidak bisa menolak pembuatan papan nama itu, kayak PBB saat Gaza diserang oleh Israel beberapa waktu yang lalu.


Dalam rapat perkumpulan para kepala sekolah di kompleks itu, kepala SMK memang tidak hadir. Pengecut ya? hehe.. Wong sudah tau bakal diserang oleh yang lain kok! Yang menjadi tumbal adalah Kadisnya. Karena diserang bertubi-tubi dari berbagai arah, akhirnya dia berjanji akan mengubah papan nama yang sudah terlanjur dipasang di depan kompleks sekolah. Tapi apa yang terjadi? SMA Yayasan tersebut, yang sudah terlanjur marah, malah menambah papan namanya di depan kompleks sekolah tersebut, sehingga menjadi "SMK dan SMA Yayasan". Lho, bagaimana dengan nasib sekolah yang lain, yang tidak mampu membuat papan nama? Dimana ide sang Kadis? Dimana peran pengurus yayasan? Bukankah lebih baik menggunakan nama "KAMPUS YAYASAN apaaaaa....gt" atau "KOMPLEKS YAYASAN apaaa....kek"...atau apalah yang lebih dapat diterima oleh semua pihak?


Akhirnya, bukannya solusi yang didapat, tapi tindakan SMK (ditambah SMA) yang membuat papan nama sendiri dan lembeknya sang Kadis di Yayasan itu telah menanam bom waktu yang dapat meledak setiap saat. Bom waktu "keadilan dan kesetaraan derajat". Arogansi karena uang dan kekuasaan memang selalu menimbulkan masalah.
Anda setuju kan?

2 komentar:

Anonim Selasa, Februari 03, 2009  

ini mah kaya yang kenal di negeri apa n yayasan apa ^__^

Master Selasa, Februari 03, 2009  

Hush...jangan memprovokasi dong...!!
^_^'

Posting Komentar

Jangan hanya melihat-lihat, tulis komentar atau ikuti pooling yang ada, supaya saya tahu bahwa Anda pernah berkunjung ke sini. Terima kasih atas kesediaannya.