FS vs FB



Betulkah FS (Friendster) sudah ketinggalan zaman dan sudah saatnya digantikan dengan FB (Facebook)?


Sekilas tentang Friendster dan Facebook
Sebenarnya situs perkenalan bukan hanya Friendster (FS) dan Facebook (FB). Namun saya akan mempersempit topik ke dua situs ini karena, menurut beberapa pengamat, kedua situs inilah yg paling diminati oleh para penggemar dunia maya.

FS booming pada sekitar tahun 2002 dulu. Situs perkenalan ini mulai menjadi trend tentang cara sosialisasi online dan menjadi cirihas dari masyarakat modern. Jonathan Abrams adalah seorang anak muda pendiri FS. Dengan idenya tersebut dia kini sudah menjadi miliader dengan keuntungan jutaan dolar.

Salah satu saingan FS, FB, didirikan oleh seorang anak muda juga. Namanya Mark Zuckerberg, seorang mahasiswa Harvard berumur 23 tahun. Keuntungan miliaran dolar dengan cepat dia raih karena FB menawarkan fitur-fitur badu yang tidak ada di FS.

Pengalaman Penulis
Saya diperkenalkan pada FS oleh salah seorang murid sejak awal tahun 2009. Mula-mula sempat bingung, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa dan senang juga mengenal berbagai karakter orang melalui FS. Banyak pengalaman,mulai dari koment yg tidak sedap (karena setting komentar tidak disensor) sampai dengan kiriman spam melalui HTML. Ada-ada saja emang kerjaan orang iseng.

Lagi-lagi disindir murid. Sedang senang-senangnya FSan, murid yang sama mengajak gabung ke FB, katanya "FS sudah tidak zamannya lagi,pak!". Benarkah? FB dianggap gaul dan lebih "zamannya" karena nongolnya sekarang. Coba kalau FB keluarnya dulu,gak lama setelah FS, pasti akan terjadi persaingan yg "sehat" antara keduanya. Setelah saya gabung di FB juga dan saya rasakan sendiri persamaan dan perbedaan keduanya, saya dapat menarik kesimpulan bahwa FB adalah new version dari FS.

Setelah sebulan penuh melakukan pengamatan,saya bisa simpulkan nilai plus dari masing-masing situs pertemanan itu:

Friendster:
1. Loading lebih cepat dari Facebook,meskipun dengan layout paling "rame" sekalipun!
2. Dapat ditambahkan layout yg beragam sesuai dengan "jiwa" masing-masing.
3. Banyak pihak ke-3 yang sudah bekerjasama dengan FS,sehingga dapat menambah variasi tampilan.
4. Bagi anak muda, FS lebih terasa sreg karena lebih bebas berekspresi. Bandingkan dengan FB yang pada umumnya adalah reunian para teman jadul sehingga sebagaian user menjadi jaim.
5. Bisa menambahkan gambar/photo/ emoticon dalam komentar yang kita posting.
6. Bisa melihat "tamu" yang berkunjung ke FS kita. Sehingga seringkali kita menambah teman lewat cara ini.

Facebook:
1. Tampilannya lebih sederhana,cocok untuk kalangan yang sudah berumur.
2. Tidak akan tiba-tiba dikejutkan oleh suara musik, seperti di beberapa layout FS.
3. Ada fasilitas chat (meskipun kebanyakan jarang sekali digunakan).
4. Gampang mengirim surat ke teman-teman,karena photonya akan tetap kelihatan. Coba bikin surat ke beberapa orang di FS, yang muncul hanya nama-namanya saja.
5. Kirim komentar lebih gampang,karena ada "Notification" di kanan bawah layar yang memberitahu kita (meskipun kadang-kadang sulit juga menemukan postingan yang sudah agak lama dan seringkali mengganggu kita juga ketika orang yang tidak kita kenal memposting komentar di teman kita, dan pemberitahuannya sampai ke kita).
6. Kalau kesal,tidak ada komentar, kita bisa ikutan kuis atau memainkan permainan yang ada, dan hasilnya bisa diposting di "wall" kita untuk memancing teman memberi komentar.
7. Mudah mencari teman,karena jarang sekali yang menggunakan nama samaran (tujuannya mungkin untuk menemukan teman-teman jadul).
8. Bagi para pengusaha, iklan terlihat lebih jelas.

Intinya FS dan FB tidak jauh berbeda. Dalam beberapa hal, FB memang lebih advanced, meskipun saya menganggap itu adalah "perbaikan" dari FS.

Sekarang saya melihat FS sedang dalam tahap perbaikan. Saya sudah mengikuti polling tentang itu di FS. Dari pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dalam polling tersebut kelihatannya dalam jangka waktu yang tidak lama lagi kita akan melihat wajah FS yang baru, yang bisa menyaingi kecanggihan adiknya, FB. Kita lihat saja.

Ujian Nasional (UN) : One Way to the Hell


Pada bulan April ini, seluruh sekolah, mulai dari tingkatan Sekolah Dasar (SD) sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) mengadakan UN (Ujian Nasional) serentak seluruh Indonesia. Dimulai di tingkat SMA/SMK pada tanggal 20-24 April 2009 lalu. Minggu ini bahkan sedang berlangsung UN di tingkat SMP, dan tingkat SD, sebagai buncit, akan dilaksanakan pada minggu depan, meskipun istilahnya bukan UN, tapi fungsinya kurang-lebih sama dengan Ujian Nasional di tingkat Pendidikan Menengah.


Pemerintah berharap bahwa pelaksanaan UN akan menghasilkan standarisasi kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Artinya, kualitas lulusan/ siswa di sekolah-sekolah menengah dimanapun di seluruh Indonesia (diharapkan) akan sama. Tidak ada lagi istilah sekolah "kelas dua", yang seringkali diidentikan dengan sekolah-sekolah swasta, di dunia pendidikan Indonesia dengan adanya standarisasi nilai UN ini. Namun, benarkah "standarisasi kualitas" itu terwujud?


Sebenarnya pro-kontra UN sudah berlangsung lama. DPR telah beberapa kali memanggil pemerintah (baca: Dinas Pendidikan), dan beberapa kali juga argumen DPR dapat dipatahkan. Sekolah, sebagai pelaksana kegiatan UN, pada umumnya sangat keberatan dengan pelaksanaan UN. Bagaimana tidak, hasil didikan selama 3 tahun akan terasa percuma manakala si anak didik gagal dalam 5 mata pelajaran (dulu bahkan hanya 3 mata pelajaran), meskipun hanya dalam kesalahan kecil seperti salah dalam melingkari huruf! Adilkah ini, bagaimana dengan mata pelajaran lain yang dianak-tirikan?


Bagaimanapun caranya pemerintah memperketat pelaksanaan dan pengawasan UN, celah masih bisa terjadi. Tujuan semula memang mulia, tapi karena ada semacam "gengsi" dari tiap sekolah, maka tujuan tersebut menjadi kabur. UN disinyalir bocor. Bahkan oleh sebagian orang UN adalah Ujian Nonsense karena, bagi beberapa sekolah, yang melaksanakan ujian itu sebenarnya adalah guru, bukan siswa. Guru membantu siswa mengerjakan soal-soal UN demi sebuah rasa gengsi takut dianggap sebagai sekolah "kelas dua".


Meskipun sudah dilarang, namun praktek ini disinyalir masih saja terjadi. Indonesia malu kalau standar pendidikannya masih dibawah rata-rata negara-negara tetangga, maka Dinas Pendidikan (Disdik Pusat) terkesan tutup mata akan kemungkinan kebocoran. Demikian pula Disdik Provinsi. Setiap provinsi berlomba-lomba ingin dianggap yang terbaik. Disdik Provinsi "berharap" pada Disdik Kabupaten/Kota untuk dapat "menjaga kualitas pendidikan" di daerahnya masing-masing. Dan endingnya sudah dapat ditebak, sekolah lah yang kebagian cuci piring melalui guru-guru (panitia) UN yang bersangkutan.


Saran saya, lebih baik UN diganti dengan sistem semacam EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Nasional) dulu, dimana tidak ada istilah "lulus dan tidak lulus" tapi hanya ada istilah "nilai besar dan nilai kecil". Seseorang yg mempunyai nilai EBTANAS kecil tidak berarti dia tidak bisa survive di dunia nyata. Hukum alam lah yang akhirnya menentukan. Ada beberapa contoh kesuksesan dari beberapa teman saya yang nilai EBTANASnya lebih kecil,tapi sekarang sudah menjadi orang "besar". Lalu,pantaskah UN masih dipertahankan kalau hanya sekedar kedok belaka? Kalau UN hanya sekedar salah satu pemulus jalan menuju Neraka?

Wallohu'alam. Hanya Mendiknas yang bisa memutuskannya.

Apa yang Akan Kamu Lakukan?

Apa yang akan kamu lakukan jika mengirim SMS "sayang-sayangan" tapi malah nyampe ke Boss??
(glek!)

Output Pendidikan

Arah pendidikan di Indonesia berubah dari tahun ke tahun. Dulu, pendidikan dipusatkan pada kemampuan kognitif (otak) siswa, dengan mengecilkan arti kemampuan afektifnya (sikap). Artinya, pendidikan hanya dilihat dari nilai-nilai yg diperoleh siswa di kelas, tanpa memperhitungkan ahlak siswa tersebut. Apa efeknya ketika siswa menjalani kehidupan nyata setelah dia lulus sekolah? "Siswa" menjadi pintar untuk mencari celah demi keuntungan pribadi. Korupsi mewabah, tidak ada rasa malu terhadap penyelewengan jabatan yang dilakukannya. Sebuah kesalahan fatal sistem pendidikan Indonesia di masa lalu.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua "produk" pendidikan masa lalu adalah bermasalah. Dalam kenyataannya, ada juga yang berhasil. Ada juga yang bisa menjaga amanat dan berhasil mencapai karir yg lebih baik. Itu adalah hasil dari sebuah didikan keagamaan yg dijalaninya dulu.

Setelah dicanangkannya kurikulum baru pada tahun 2003 yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) -- dan sekarang diubah lagi dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) -- setiap sekolah bisa mempunyai cirikhasnya masing-masing. Sekarang, pendidikan lebih mengutamakan ahlakul karimah (meminjam istilah yg dipopulerkan oleh film Laskar Pelangi). Seorang siswa tidak akan dikatakan berhasil dan tidak akan diluluskan apabila dia tidak mempunyai kecerdasan spiritual dan tidak bisa bersikap baik terhadap teman sejawat, guru, dan apalagi terhadap orang tua, meskipun nilai-nilainya menonjol.

Pendidikan seperti ini diharapkan dapat menciptakan kader-kader penerus bangsa yang bisa lebih menjaga amanat dan lebih cerdas secara spiritual. Intinya, dimanapun kelak mereka berada, disitu akan tercipta sebuah kepastian akan kualitas seorang hasil "ciptaan" para pendidik dan hasil godokan kurikulum baru. Insya Allah.

Saran untuk KPU



Pemilihan Umum Legislatif sudah dilaksanakan pada hari Kamis, 9 April 2009 kemarin. Sebuah pemilu dengan banyak perubahan aturan-aturan yang baru. Yang paling mencolok adalah perubahan cara memilih, dari mencoblos, menjadi mencontreng. Banyak kekurangan memang, terutama kemungkinan mudahnya timbul konflik antara KPPS dengan saksi di TPS karena misinterpretasi tentang suara sah atau tidak sah. Namun, "contreng" ini menunjukkan bahwa kita lebih educated, lebih terdidik dalam memberikan suara.

Untuk Pemilu kali ini, saya kebagian menjadi anggota KPPS. Bangga sekali, namun tugas yang harus diemban terasa begitu berat. Mulai pendataan pemilih sampai dengan penghitungan suara yang sangat menyita waktu. Namun alhamdulillah, semuanya bisa terlaksana berkata kerjasama yang baik antar semua pihak, terutama kerjasama dengan masyarakat sekitar.

Ada beberapa kritikan dari saya untuk KPU, supaya Pemilu kedepan bisa berjalan lebih baik dan lebih mudah.
Pertama:
Batas maksimum Daftar Pemilih Tetap (DPT) di setiap TPS
Seharusnya KPU bisa mengubah aturan tentang DPT maksimum dalam setiap TPS berdasarkan pengalaman/simulasi yang telah dilaksanakan oleh KPU itu sendiri. Memilih caleg dan membuka lembaran yang begitu besar sangat menyita waktu. Dalam simulasi, setiap pemilih rata-rata menghabiskan waktunya sekitar 10 menit. Belum lagi pemilih yang sudah berumur.

Aturan pelaksanaan Pemilu dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00 waktu setempat, terasa sangat berat untuk jumlah DPT yang banyak. Di Tempat Pemungutan Suara (TPS) saya, jumlah DPTnya mencapai 420 orang! Ketika Pemilu berlangsung sampai dengan pukul 12.00, kurang lebih baru sekitar 300 orang yang telah melaksanakan hak pilihnya. Kalau dipaksakan semua ikut memilih, bisa-bisa sampai pukul 5 sore. Belum lagi proses perhitungan suara. Busyet deh. Kami bukan robot, kami juga perlu istirahat.

Akhirnya, kami batasi sampai dengan pukul 14.00, seadanya (beberapa orang yang sudah menyimpan undangan akhirnya gugur, tidak bisa ikut memilih, karena ketika dipanggil mereka pulang dulu ke rumah). Itulah yang menyebabkan banyaknya suara kosong. Dan saya lihat, di semua TPS pun begitu. Bahkan ada TPS yang "saklek". Jam 12.00 langsung ditutup!

Jadi, siapa yang salah? Para pemilihkah yang (maaf) begitu bodoh dalam proses menggunakan hak pilihnya, atau beban DPT yang terlalu banyak? Dari cerita di atas bisa disimpulkan bahwa DPT perlu direvisi jumlah maksimumnya. Saran saya: 1 TPS untuk setiap RT, atau maksimum 300 DPT. Pertanyaan selanjutnya: maukah pemerintah mengeluarkan biaya lagi untuk oprasional TPS-TPS baru?

Kedua:
Sanksi pada partai-partai yang tidak lolos "electoral treshold"
Kenapa Pemilu cenderung diikuti banyak partai politik (parpol)? Alasan "HAM dan kebebasan berpendapat" pasti menjadi ujung tombak mereka dalam membuat partai. Begitu "mudah"nya parpol didirikan, demi sebuah ketenaran atau keuntungan pribadi yang diperoleh para pengurus parpol (setiap parpol memperoleh bantuan dana dari pemerintah lho). Toh gak perlu usaha keras, yang penting bisa menggembosi suara parpol asal, dan mendapatkan bantuan dana, begitu ungkapan sinis seorang teman. Benar juga, lihat saja, banyak suara parpol yang kosong, bahkan untuk beberapa tempat tidak ada calegnya sama sekali! Kalau begitu, kenapa harus dipaksakan membuat parpol, pasti ada "sesuatunya" kan?

Tujuan mulia untuk "mensejahterakan rakyat atau sebuah perubahan"hanya menjadi kedok. Setelah Pemilu selesai dan parpol mereka tidak lolos electoral treshold (batas minimum perolehan suara 2%), bisa mengubah nama parpol lagi untuk pemilu berikutnya. Simple sekali bukan? Apa efeknya buat rakyat? Rakyak SEMAKIN BINGUNG dengan banyaknya pilihan yang ada!

Untuk itu saya setuju apabila para pengurus parpol yang tidak dapat melewati batas 2% itu diberi sanksi. Sanksi yang ada bisa berupa pengembalian dana kampanye dari pemerintah ditambah bunga 300%! Apabila parpol tidak sanggup, para pendirinya dihukum penjara saja.

Aturan tersebut dibuat bukan untuk mengekang kebebasan berpendapat, tapi untuk membuat para pendiri parpol asal-asalan menjadi jera sehingga mau bekerja keras demi menarik simpati rakyat. Anda setuju?

Kevakuman

Tak terasa sudah sekitar satu bulan lamanya blogku ini dibiarkan sepi begitu saja. Bukannya sudah tidak ingat, bukannya sudah tidak ada ide, tapi rasa malas begitu berat aku melekat dalam jiwaku.
Aku sangat suka menulis, namun kemarin2 rasanya berat sekali untuk mengungkapkan pikiran-pikiranku disini.

Mohon maaf pada Anda semua, para pemerhati Blogku ini, mudah-mudahan Anda tidak meninggalkanku.

Insya Allah, mulai sekarang akan giat lagi menulis.