Ujian Nasional (UN) : One Way to the Hell


Pada bulan April ini, seluruh sekolah, mulai dari tingkatan Sekolah Dasar (SD) sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) mengadakan UN (Ujian Nasional) serentak seluruh Indonesia. Dimulai di tingkat SMA/SMK pada tanggal 20-24 April 2009 lalu. Minggu ini bahkan sedang berlangsung UN di tingkat SMP, dan tingkat SD, sebagai buncit, akan dilaksanakan pada minggu depan, meskipun istilahnya bukan UN, tapi fungsinya kurang-lebih sama dengan Ujian Nasional di tingkat Pendidikan Menengah.


Pemerintah berharap bahwa pelaksanaan UN akan menghasilkan standarisasi kualitas pendidikan di seluruh Indonesia. Artinya, kualitas lulusan/ siswa di sekolah-sekolah menengah dimanapun di seluruh Indonesia (diharapkan) akan sama. Tidak ada lagi istilah sekolah "kelas dua", yang seringkali diidentikan dengan sekolah-sekolah swasta, di dunia pendidikan Indonesia dengan adanya standarisasi nilai UN ini. Namun, benarkah "standarisasi kualitas" itu terwujud?


Sebenarnya pro-kontra UN sudah berlangsung lama. DPR telah beberapa kali memanggil pemerintah (baca: Dinas Pendidikan), dan beberapa kali juga argumen DPR dapat dipatahkan. Sekolah, sebagai pelaksana kegiatan UN, pada umumnya sangat keberatan dengan pelaksanaan UN. Bagaimana tidak, hasil didikan selama 3 tahun akan terasa percuma manakala si anak didik gagal dalam 5 mata pelajaran (dulu bahkan hanya 3 mata pelajaran), meskipun hanya dalam kesalahan kecil seperti salah dalam melingkari huruf! Adilkah ini, bagaimana dengan mata pelajaran lain yang dianak-tirikan?


Bagaimanapun caranya pemerintah memperketat pelaksanaan dan pengawasan UN, celah masih bisa terjadi. Tujuan semula memang mulia, tapi karena ada semacam "gengsi" dari tiap sekolah, maka tujuan tersebut menjadi kabur. UN disinyalir bocor. Bahkan oleh sebagian orang UN adalah Ujian Nonsense karena, bagi beberapa sekolah, yang melaksanakan ujian itu sebenarnya adalah guru, bukan siswa. Guru membantu siswa mengerjakan soal-soal UN demi sebuah rasa gengsi takut dianggap sebagai sekolah "kelas dua".


Meskipun sudah dilarang, namun praktek ini disinyalir masih saja terjadi. Indonesia malu kalau standar pendidikannya masih dibawah rata-rata negara-negara tetangga, maka Dinas Pendidikan (Disdik Pusat) terkesan tutup mata akan kemungkinan kebocoran. Demikian pula Disdik Provinsi. Setiap provinsi berlomba-lomba ingin dianggap yang terbaik. Disdik Provinsi "berharap" pada Disdik Kabupaten/Kota untuk dapat "menjaga kualitas pendidikan" di daerahnya masing-masing. Dan endingnya sudah dapat ditebak, sekolah lah yang kebagian cuci piring melalui guru-guru (panitia) UN yang bersangkutan.


Saran saya, lebih baik UN diganti dengan sistem semacam EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Nasional) dulu, dimana tidak ada istilah "lulus dan tidak lulus" tapi hanya ada istilah "nilai besar dan nilai kecil". Seseorang yg mempunyai nilai EBTANAS kecil tidak berarti dia tidak bisa survive di dunia nyata. Hukum alam lah yang akhirnya menentukan. Ada beberapa contoh kesuksesan dari beberapa teman saya yang nilai EBTANASnya lebih kecil,tapi sekarang sudah menjadi orang "besar". Lalu,pantaskah UN masih dipertahankan kalau hanya sekedar kedok belaka? Kalau UN hanya sekedar salah satu pemulus jalan menuju Neraka?

Wallohu'alam. Hanya Mendiknas yang bisa memutuskannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Jangan hanya melihat-lihat, tulis komentar atau ikuti pooling yang ada, supaya saya tahu bahwa Anda pernah berkunjung ke sini. Terima kasih atas kesediaannya.