Kinerja Guru Bersertifikat


Guru sudah dimanjakan oleh pemerintah dengan adanya program sertifikasi guru. Maksudnya, bagi guru yang sudah lulus "tes" tersebut, akan diberikan gaji yang besarnya dua kali lipat dari gaji semula. Insya Alloh, minimal guru akan menerima 3 atau 4 juta per bulan apabila sudah lolos sertifikasi, sehingga guru bisa konsentrasi dalam mengajar demi memajukan pendidikan, tanpa harus ada usaha sambilan demi menutupi kekurangan dalam biaya hidup kesehariannya.

Tapi, apakah kinerja guru sudah benar? Saya melihat, beberapa guru yang sudah disertifikasi masih berorientasi konservatif atau jadul. Jarang sekali mereka yang telah lulus sertifikasi bisa mengubah kebiasaan mereka dalam sekejap demi mengejar idealisme sertifikasi. Kebiasaan yg tertanam bertahun-tahun telah melekat dan menjadi bagian dari keseharian cara mengajarnya sehingga yang ada hanyalah "status" baru sebagai guru yg telah bersertifikat, tapi kinerja masih konservatif. Berikut ini adalah contohnya:

1. Dalam Menentukan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) KKM adalah nilai minimal yang harus diperoleh siswa dalam setiap mata pelajaran. Setiap mata pelajaran menentukan KKM dengan berbedoman pada unsur-unsur: kompleksitas, intake siswa, dan sarana pendukung. Setiap mata pelajaran bisa berbeda, meskipun masih dalam satu rumpun. Pandangan yang sangat salah tentang KKM adalah "semakin besar KKM, semakin bagus". Inilah yang memicu "nilai semu" yang diterima siswa. Siswa yang seharusnya mendapatkan nilai 55, misalnya, tapi karena KKM ditentukan dengan asal-asalan, maka kemampuan siswa pun semu.

2. Dalam Memberi Nilai Raport Dalam memberikan nilai raport, kebanyakan masih menggunakan rumus kurikulum lama, atau lebih banyak lagi (maaf kalau salah) ditebak! Siswa yang kenal/ ganteng/ cantik, mendapat nilai lebih dan kadangkala tidak pas untuknya. Seharusnya, pinilaian raport dalam KTSP adalah dijumlahkan dan dibagi rata masing-masing seluruh nilai kognitif dan praktek yang ada. Misalnya selama satu semester, seluruh siswa telah melakukan praktek selama 6 kali, maka dijumlahkan seluruh nilainya dan dirata-ratakan. Kalau ada siswa yang tidak praktek, tetap dirata-ratakan dan dibagi seluruh jumlah praktek (6 kali, misalnya).

3. Dalam Mengajar
Guru konservatif mengajar masih menggunakan cara lama, metode ceramah. Bahkan lebih sering dengan metode mencatat. Untuk membuat siswa diam dan sibuk, guru menyuruh mencatat hampir selama jam pelajarannya. Memang, saat akhir akan diterangkan, tapi, menerangkan dengan waktu yang terbatas tidaklah cukup. Guru seharusnya menggunakan berbagai variasi mengajar, kalau perlu menggunakan media pembelajaran seperti OHP/in focus.
Dan masih banyak lagi.

Setelah disertifikasi, kinerja guru seharusnya semakin membaik, bukan malah tetap dan hanya menginginkan uangnya saja. Apalagi saat beberapa tahun kedepan, kita akan mendapatkan generasi buruh karena pendidikan saat ini mengandalkan pada SMK.

Generasi Pesuruh


Pernahkan Anda melihat iklan Dinas Pendidikan di TV tentang SMK? Disitu diopinikan bahwa SMK bisa segalanya. Lulusan SMK bisa menjadi manajer dan sukses,dsb. Sudah memasuki tahun ke-3 iklan itu ditampilkan. Pencitraan seolah-olah SMK lebih baik dari SMA membuat para orang tua antusias memasukkan anak-anaknya ke SMK. Dan hal tersebut memahang berhasil membunuh secara pelan-pelan SMA swasta.

Alasan memprioritaskan SMK
Kebijakan pro-SMK diterapkan di Indonesia juga dikarenakan Indonesia mengajukan diri menjadi sukarelawan ILO (International Labour Organization) dalam proyek penelitian tentang perlunya keterampilan untuk para pekerja (Lihat Sumber 2). Dan hasil dari penelitian tersebut mengubah 100% arah pandangan dan kebijakan pendidikan di Indonesia: ciptakan kelas buruh!

Berdasarkan saran dari penelitian itu, masyarakat pekerja Indonesia masih mempunyai skill yang kurang di dunia kerja sehingga pengangguran semakin banyak. Dengan kata lain, lulusan SMA (yang notabene lebih banyak dari lulusan SMK) disalahkan. Ini adalah persepsi yang salah. Lulusan SMA bukan diplot untuk menjadi pekerja, tapi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Lulusan SMK lah yang menyebabkan banyaknya pengangguran itu, karena tidak bisa diterima di lapangan kerja. Berdasarkan data, hanya 60% lulusan SMK yang diserap oleh dunia kerja. Lebih dilematis lagi, 60 % dari lulusan SMK tersebut tidak semuanya bekerja sesuai dengan jurusan yang ditekuni semasa SMK (lihat Sumber 1). Artinya, ternyata mereka tidak mendapatkan pelatihan yang benar-benar siap di dunia kerja mereka, atau mereka masih tidak dapat diterima oleh kebanyakan perusahaan yang membutuhkan.

Bagi mereka (lulusan SMK), masuk ke Universitas pun kurang pas karena mereka sebenarnya disiapkan untuk langsung bekerja. Apalagi setelah keluarnya peraturan baru, UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003 pasal 53 ayat (1) bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum”. Yang membuat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) semakin mahal dan tidak terjangakau oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.

Bingung saya. Apa yang ada dalam benak Pemerintah (Mendiknas) saat ini? Apakah Indonesia akan dibawa menuju kehancuran? Sebagai orang Muhammadiyah, terus terang, saya malu dengan kebijakan "Neoliberal" (menurut istilah cawapres Prabowo) ini. Lihat saja, beberapa tahun kedepan, tidak ada lagi iklan "saya berasal dari SMK dan saya sukses jadi manajer". Tapi akan seperti ini "saya adalah generasi kesalahan kebijakan pemerintah". Dan iklan-iklan pun akan menampilkan para manajer yang berasal warga negara Indonesia keturunan asing sementara kita menjadi bangsa buruh, bangsa bawahan. Na'udzubillah.

Saran
Biarlah persaingan SMA dan SMK kembali terjadi secara sehat, tanpa harus ada yang dianakemaskan dan dianaktirikan. Permudah dan permurahlah akses ke PTN, sehingga kelak akan tercipta generasi manajer dan bukan generasi pesuruh.

Sumber:
1. http://one.indoskripsi.com/node/6099
2. http://www.ilo.org/public/english/employment/gems/download/wp14.pdf